Mengenal Sifat Para Kekasih Allah
[SERI PENGAJIAN THORIQOH JUM'AT KLIWON]
Wali adalah hamba-hamba yang dicintai
oleh Allah Swt. Mereka diangkat menjadi wali bukan karena ibadah mereka
ditujukan untuk itu, akan tetapi karena ketaatan dan keiklasannya dalam
beribadah. Mereka melakukan ibadah semata-mata karena kesadaran sebagai
hamba Allah. Maka mereka mengerti maqomat ubudiyah, dan mengerti ilmu
ke-Tuhanan.
Dengan semakin meningkatnya mereka
mengenal Allah maka mereka semakin sadar akan kehambaan mereka. Mereka
adalah teladan bagi kita semuanya. Sifat-sifat mereka disebutkan oleh
Allah dalam Al Quran (Yunus: 62-63):
أَلَا إِنَّ أَوْلِيَاءَ اللَّهِ لَا خَوْفٌ عَلَيْهِمْ وَلَا هُمْ يَحْزَنُونَ * الَّذِينَ آمَنُوا وَكَانُوا يَتَّقُونَ
“Ketahuilah sesungguhnya wali-wali Allah itu tidak ada kekhawatiran pada mereka dan tidak pula mereka bersedih hati, iaitu orang-orang yang beriman dan mereka senantiasa bertaqwa”
Ketahuilah bahwa Aulia (para Wali Allah), tidak punya rasa takut kecuali terhadap Allah ta'alaa, karena tidak sekedar kadar keimanannya, dan tidak pula setengah-setengah keimanan dan keyakinannya kepada Allah dan Rasul-Nya. Tadhoru-nya, ibadahnya, syukurnya, roja’nya itulah yang menjadikan mereka sempurna dalam kehambaannya. Yang kedua mereka tidak mempunyai rasa takut selain pada Allah Swt, karena mereka itu adalah الَّذِينَ آمَنُوا وَكَانُوا يَتَّقُونَ , orang-orang yang beriman.
Tidak sedikitpun mengambil atsar (merasa
ada yang bisa member efek psoitif danalam mendatangkan kebaikan atau
menolak keburukan) dari sesuatu selain Allah. Beliau-beliau bisa
membedakan mana dorongan nafsunya, mana dorongan imannya. Beliau-beliau
tidak tertipu dengan nafsunya sendiri, apalagi oleh Syaithan,
Beliau-beliau sangat menjauhi kesyirikan, syirik kecilpun sangat mereka hindari. Misalkan disuatu subuh turun hujan, adzan berkumandang hingga sholat tidak ada yang keluar untuk berjamaah. Setelah selesai sholat dia ngomong; ‘subuh-subuh di undang sholat sama Allah malah pada tidur’. Tanpa dia sadari dia sudah terperosok pada syirik kecil, bangga dengan amalnya dan mengecilkan yang lain. Padahal yang lain ada yang bekerja hingga larut malam, ada yang sakit, berat untuk bangun subuh awal.
Beliau-beliau sangat menjauhi kesyirikan, syirik kecilpun sangat mereka hindari. Misalkan disuatu subuh turun hujan, adzan berkumandang hingga sholat tidak ada yang keluar untuk berjamaah. Setelah selesai sholat dia ngomong; ‘subuh-subuh di undang sholat sama Allah malah pada tidur’. Tanpa dia sadari dia sudah terperosok pada syirik kecil, bangga dengan amalnya dan mengecilkan yang lain. Padahal yang lain ada yang bekerja hingga larut malam, ada yang sakit, berat untuk bangun subuh awal.
Demikian pula ketika kita datang kesuatu
daerah untuk ceramah, tuan rumah mengatakan kalau di daerah itu masih
banyak orang yang meminum minuman keras. Pada waktu naik ke panggung dia
ngomong; ‘ masa disini masih banyak orang minum..’ dengan nada marah.
Dia naik ke podium dengan amarah bukan dengan kasih sayang untuk
menyadarkan orang lain. Tanpa sadar dia telah mendahulukan amarahnya.
Ibarat seorang tuan rumah yang menyuruh atau mempersilahkan minum kopi
yang dihidangkan padahal kopinya sangat panas. Tapi jika mubaligh itu
bisa memahami dan menguasai nafsunya maka akan menyampaikan dengan lemah
lembut. Ibarat menyuruh minum kopi itu, menunggu setelah dingin dahulu.
Karena dalam al Quran sendiri pelarangan dan penyadaran minum khomer
itu secara bertahap. Tapi jika panas (mubaligh) dan panas (pendengar;
karena tersinggung) apa jadinya dakwah itu.
Nah para wali-wali Allah Swt tidak
mungkin seperti itu. Para beliau paham mana dorongan nafsu dan mana
dorongan kasih sayang atau niatan taat kepada Allah. Nafsu itu menurut
imam Qusyairi ibara anak kecil, waktu masih kecil kencing sembarangan
tetap lucu dan menggemaskan, membuat kita tertawa tetapi ketika makin
tumbuh besar usia 6 tahun kencing sembarangan kan membuat ibunya marah.
Selanjutnya yang membuat mereka diangkat oleh Allah menjadi wali karena mereka selalu ingat pada Allah Swt. Nafsu itu jika dituruti akan terus meminta lebih. Jadi para wali-wali Allah sangat menjauhi ajakan nafsu itu.
Selanjutnya yang membuat mereka diangkat oleh Allah menjadi wali karena mereka selalu ingat pada Allah Swt. Nafsu itu jika dituruti akan terus meminta lebih. Jadi para wali-wali Allah sangat menjauhi ajakan nafsu itu.
Nah para wali Allah itu sendalnya saja
tidak pernah maksiat apalagi kakinya, kalau kita kaki kita terperosok
kejurang maksiat apalagi sendalnya. Itu pengandaian saja bagaimana
beliau-beliau bisa menahan diri dari menuruti nafsu.
Para aulia menjaga matanya karena merasa disaksikan terus oleh Allah Swt, hatinya tidak pernah suudzon. Para wali-wali Allah lalai lupa sama Allah sekejap saja belia-beliau wajib taubat. Mata dan mulut itu yang pertam kali busuk saat orang meninggal dunia.
Kunci berikutnya adalah taat kepada orang tuanya, sekalipun orang tua kita bodoh, beda agama sekalipun selama memberitahukan yang baik, ya ikuti. Jangan mentang-mentang beda agama kita bertindak sembarangan. Walaupun beda agama orang tua yang melahirkan kita tetap harus kita hormati. Lebih-lebih seagama. Termasuk mertua sekalipun.
Lihat seperti kisah Uwaisy Al Qarny, kenapa beliau di angkat menjadi wali. Karena taatnya beliau pada orang tua samapai beliau itu hidup pada jaman Nabi tapi beliau tidak pernah bertemu dengan Nabi Saw, karena kesibukannya mengurus ibunya yang sakit, dan siangnya beliau menggembala kambing. Bahkan beliau pernah menggendong ibunya dari Yaman sampai baitillah Al Haram untuk melakukan ibadah haji. Ditempat yang lain Rasulullah Saw, mewasiatkan kepada Sahabat Abu Bakar untuk menyampaikan salam dan memberikan gamis dan mengamanatkan Sahabat Abu Bakar untuk memintakan doa dari Uwais. Bayangkan Rasulullah Saw sangat tawadhu’nya meminta doa dari Uwais, seoang makhluk paling utama, dan para penghulu dari para Nabi. Meminta doa yang hakikatnya untuk umat, karena beliau sendiri sudah lebih-lebih. Ini pelajaran untuk kita agar rendah hati.
Pada masa Sahabat Abu Bakar belum bisa
ditemukan, dan amanat Rasulullah Saw itu baru bisa disampaikan pada
masa Sahabat Umar menjadi Khalifah, beliau sendiri dan Sayidina Ali yang
menyampaikan salam dan titipan Rasulullah Saw itu. Karena dalamnya
ma’rifatnya Uwais Al Qarni beliau mengenal siapa saja yang datang
menghapirinya; katanya: Asalam Alaik Umar bin Khatab amirul mukminin,
asalam alaika Amirul Mukminin Arabi’ Ali bin Abi Thalib. Itu Karena
dalamnya ma’rifatnya beliau padahal belum pernah saling bertemu. Karena
taatnya pada orang tua Uwais kenal dengan Allah. Karena taatnya pada
orang tua Uwais diangkat menjadi wali, bahkan sayid at tabiin. Karena
taat dan hormatnya Uwais sampai mendapatkan gamisnya (pakaian) dari
Rasulullah Saw Padahal tidak pernah bertemu Beliau SAW Para aulia menjaga matanya karena merasa disaksikan terus oleh Allah Swt, hatinya tidak pernah suudzon. Para wali-wali Allah lalai lupa sama Allah sekejap saja belia-beliau wajib taubat. Mata dan mulut itu yang pertam kali busuk saat orang meninggal dunia.
Kunci berikutnya adalah taat kepada orang tuanya, sekalipun orang tua kita bodoh, beda agama sekalipun selama memberitahukan yang baik, ya ikuti. Jangan mentang-mentang beda agama kita bertindak sembarangan. Walaupun beda agama orang tua yang melahirkan kita tetap harus kita hormati. Lebih-lebih seagama. Termasuk mertua sekalipun.
Lihat seperti kisah Uwaisy Al Qarny, kenapa beliau di angkat menjadi wali. Karena taatnya beliau pada orang tua samapai beliau itu hidup pada jaman Nabi tapi beliau tidak pernah bertemu dengan Nabi Saw, karena kesibukannya mengurus ibunya yang sakit, dan siangnya beliau menggembala kambing. Bahkan beliau pernah menggendong ibunya dari Yaman sampai baitillah Al Haram untuk melakukan ibadah haji. Ditempat yang lain Rasulullah Saw, mewasiatkan kepada Sahabat Abu Bakar untuk menyampaikan salam dan memberikan gamis dan mengamanatkan Sahabat Abu Bakar untuk memintakan doa dari Uwais. Bayangkan Rasulullah Saw sangat tawadhu’nya meminta doa dari Uwais, seoang makhluk paling utama, dan para penghulu dari para Nabi. Meminta doa yang hakikatnya untuk umat, karena beliau sendiri sudah lebih-lebih. Ini pelajaran untuk kita agar rendah hati.
Yang kedua adalah taat Uwais kepada gurunya yang mengenalkan dirinya kepada Allah Ta'alaa. Guru yang menuntuk menjauhkan dari kesyirikan. Mana yang menjadi sifat Allah dan mana yang bukan, dan guru yang mengenalkan pada mana yang halal dan mana yang haram. Dan beliau khidmah pada gurunya sehingga menjadi wali. Kita membaca dan mengaji tentang wali dalam kitab ini bukan untuk menjadi wali tapi untuk meniru mereka, dalam tingkah laku. Mudah-mudahan kita mendapatkan keberkahan doa belia-beliau, dan juga keturunan-keturunan kita semua. Inysa Allah doa yang kita mohonkan pada Allah pada akhir majlis akan di Ijabah oleh Alla Swt. Wallah A’lam. (Fdi/Tsi)
0 komentar:
Speak up your mind
Tell us what you're thinking... !