KAJIAN TENTANG SYAHADAT (Edisi ke dua)
KAJIAN TENTANG SYAHADAT (Edisi ke dua)
Maksud dan tujuan PERJANJIAN TENTANG SYAHADAT
Allah berfirman seperti dalam Al Qur’an QS. Al A’raaf 7:172 tentunya
ada maksud dan tujuannya. Sesuai dengan beberapa tafsir Al Qur’an dapat
dinyatakan bahwa maksud dan tujuan perjanjian tersebut diatas adalah :
1.Untuk pegangan hidup manusia didunia.
Perjanjian tersebut mengikat manusia dan sekaligus merupakan pegangan
hidup di dunia. Dengan perjanjian tersebut manusia harus tunduk dan taat
kepada Allah karena sudah diakui dan disaksikan bahwa Dialah Tuhannya,
tidak ada yang lain dan segala perintah dan larangannya harus dipatuhi.
Sebetulnya dengan berpegang pada perjanjian tersebut, manusia tidak
perlu bingung dan mencari-cari lagi siapa yang harus di sembah, karena
sudah tahu siapa yang harus disembah Dialah Tuhan Yang Maha Esa. Inilah
jalan yang lurus, yang akan membawa manusia kepada kebahagiaan di dunia
dan di akherat. Sebagaimana Firman-Nya:
“Maka berpegang teguhlah kamu kepada agama yang telah diwahyukan kepadamu. Sesungguhnya kamu berada di atas jalan yang lurus.”
QS. Az Zukhruf 43:43.
“Dan sesungguhnya Al Quran itu benar-benar adalah suatu kemuliaan besar
bagimu dan bagi kaummu dan kelak kamu akan diminta pertanggungan
jawab.”
QS. Az Zukhruf 43:44.
“Demikianlah, karena
sesungguhnya Allah, Dia-lah yang hak dan sesungguhnya apa saja yang
mereka seru selain dari Allah itulah yang batil; dan sesungguhnya Allah
Dialah Yang Maha Tinggi lagi Maha Besar.” QS. Luqman 31:30.
Apabila setiap manusia di dunia ini mau berpegang dan melaksanakan
perjanjian tersebut, dapat diyakini tidak akan timbul pertentangan
diantara satu dengan yang lainnya karena tidak akan ada yang merasa
paling benar sehingga akan damai dan sejahtera umat manusia di dunia
ini. Dengan berpegang pada perjanjian tersebut manusia akan menyadari,
bahwasanya jiwa manusia itu pada asalnya dan pokoknya adalah satu
coraknya, semuanya mengaku adanya Tuhan Pencipta Alam apapun Bangsa dan
Agama yang mereka anut, bahkan orang yang tidak mengakui kepercayaan
kepada Tuhan, ataupun orang yang tidak beragama. Allah berfirman :
“Manusia dahulunya hanyalah satu umat, kemudian mereka berselisih. Kalau
tidaklah karena suatu ketetapan yang telah ada dari Tuhanmu dahulu,
pastilah telah diberi keputusan di antara mereka, tentang apa yang
mereka perselisihkan itu.” QS Yunus 10:19.
“Kemudian mereka
menjadikan agama mereka terpecah belah menjadi beberapa pecahan.
Tiap-tiap golongan merasa bangga dengan apa yang mereka perselisihkan.”
QS. Al Mu’minuun 23:53.
2.Agar manusia tidak mengelak terhadap
adanya Tuhan. Setelah Allah memfirmankan QS. Al A’raaf 7:172 tersebut
diatas Allah meneruskan firman-Nya :
“Kami lakukan yang
demikian itu agar dihari kiamat kamu tidak mengatakan “sesungguhnya kami
(bani Adam) adalah orang-orang yang lengah terhadap perjanjian ini
(ke-Esaan Tuhan).”
Bahwasannya janji dan kesaksian diri sendiri
itu disebutkan kembali oleh Allah, supaya kalau terjadi Tanya jawab di
akherat kelak karena suatu perintah Allah dilanggar oleh manusia, lalu
manusia diperiksa dan ditanyai, jangan sampai manusia mengatakan “Kami
Lalai” yang maksudnya “Kami tidak tahu menahu hal ini, tidak ada suruhan
atau larangan sampai kepada kami.” Maka jawaban yang demikian tidak
dapat dikemukakan lagi oleh manusia dihari kiamat, sebab Agama yang
murni itu ada bersemayam didalam jiwa manusia itu sendiri, didalam
fitrah manusia itu sendiri. Tegasnya, meskipun tidak ada agama tidak ada
Rasul yang menyampaikan dan tidak ada wahyu yang diturunkan, namun jiwa
murni manusia sendiri telah bersoal jawab langsung dengan Allah, bahwa
memang Tuhan itu ada, dan tidak ada Tuhan melainkan Dia, maka kedatangan
para Rasul adalah melengkapi dan menuntun jiwa fitrah manusia itu,
dengan demikian maka di akherat manusia tidak dapat mencari alas an
lagi.
3.Agar manusia tidak berdalih bahwa kesalahan yang
diperbuatnya sebagai akibat dari kesalahan orang tua atau nenek moyang
mereka.
Hal ini sesuai dengan firman-Nya :
“atau agar
kamu tidak mengatakan: "Sesungguhnya orang-orang tua kami telah
mempersekutukan Tuhan sejak dahulu, sedang kami ini adalah anak-anak
keturunan yang (datang) sesudah mereka. Maka apakah Engkau akan
membinasakan kami karena perbuatan orang-orang yang sesat dahulu?"
QS Al A’raaf 7:173.
Menurut Prof Dr. Hamka, agar jangan sampai tiap-tiap manusia mengatakan
bahwa apa yang mereka kerjakan tidak lain daripada contoh teladan yang
ditinggalkan oleh orang tua mereka. Kalau perbuatan yang mereka lakukan
termasuk syirik, maka yang bersalah bukan mereka tetapi orang tua mereka
karena mereka hanya menerima pusaka atau warisan saja dari orang tua
mereka mengapa mereka yang harus emikul tanggung jawab orang-orang tua
mereka terdahulu yang mempelopori perbuatan itu sedangkan mereka
hanyalah keturunannya saja. Tuhan menerangkan dalam ayat ini sekali
lagi, bahwa maksud Allah menyebutkan diayat yang terdahulu bahwa tiap
jiwa telah dikeluarkan dari sulbi ayahnya dan ditanyai bukankah aku
Tuhanmu? Yang dijawab oleh tiap-tiap diri manusia “Benar” supaya tidak
terjadi jawaban lain oleh anak-anak cucu karena kesalahan orang tua dan
nenek moyang mereka. Karena anak cucu itu sendiri fitrah dan diberi
bekal pula.
4.Agar manusia yang sudah tersesat kembali kepada kebenaran.
Sesuai dengan firman-Nya :
“Dan demikianlah Kami menjelaskan ayat-ayat itu, agar mereka kembali (kepada kebenaran).” QS. Al A’raaf 7:174.
Allah mengemukakan ayat ini, agar orang yang tersesat atau salah faham
itu kembali kejalan yang benar. Jangan dikatakan bahwa agama itu tidak
ada, sebab didalam sanubari sendiri sejak lahir kedunia perasaan tentang
adanya Tuhan itu telah ada, Cuma kadang tertipu oleh pertentangan yang
hebat antara hawa nafsu dan jiwa murni, dan jangan pula berkeyakinan itu
hanya taqlid ataupun ikut-ikutan saja kepada warisan nenek moyang,
sebab jiwa murni akan tetap membantah perbuatan yang salah karena ia
mempunyai akal.
Sungguh ini merupakan bagian keajaiban
al-Qur’an al-Karim, rahasia kejadian di alam gaib dari lembar perjalanan
hidup anak manusia telah dikuak. Dialog antara seorang hamba dengan
Tuhannya di alam ruh itu, peristiwa itu bukan sekedar perkenalan antara
seorang hamba dengan Tuhannya saja, namun juga penegasan, bahwa Sang
Pencipta dan Sang Pemelihara alam semesta ini adalah Allah SWT. Dengan
ayat ini seharusnya manusia tidak ragu lagi, bahwa sesungguhnya tiada
Tuhan yang patut disembah kecuali Allah Ta’ala.
Namun ternyata,
bahkan dari sebagian orang yang mengaku beriman saja ada yang
mengingkari peristiwa ghaib tersebut, mereka berkata: “Itu hanya klem
al-Qur’an. Sesungguhnya bai’at itu tidak pernah ada, buktinya tidak
seorangpun ingat peristiwa tersebut”. Orang yang mengatakan seperti itu
barangkali karena rongga dadanya gelap gulita sehingga matahatinya buta
yang menyebabkan hatinya menjadi ingkar kepada Tuhannya. Hal itu, karena
mereka tidak bisa membedakan mana yang harus diketahui dan mana yang
harus diimani.
Ilmu pengetahuan manusia semestinya tidak
mengadakan observasi terhadap hal gaib yang dikabarkan oleh wahyu,
karena arena akal tidak mungkin dapat mencapainya. Terhadap apa-apa yang
disampaikan oleh wahyu tersebut manusia hanya wajib beriman, karena
iman itu dirasakan dengan hati bukan dengan akal. Namun iman ini
merupakan hidayah azaliah yang jika manusia tidak mendapatkan berarti
akan berada di dasar jurang kekufuran kepada Tuhannya:
إِنَّ
الَّذِينَ كَفَرُوا سَوَاءٌ عَلَيْهِمْ أَأَنْذَرْتَهُمْ أَمْ لَمْ
تُنْذِرْهُمْ لَا يُؤْمِنُونَ (6) خَتَمَ اللَّهُ عَلَى قُلُوبِهِمْ
وَعَلَى سَمْعِهِمْ وَعَلَى أَبْصَارِهِمْ غِشَاوَةٌ وَلَهُمْ عَذَابٌ
عَظِيمٌ
“Sesungguhnya orang-orang kafir, sama saja bagi mereka,
kamu beri peringatan atau tidak kamu beri peringatan, mereka tidak akan
beriman - Allah telah mengunci-mati hati dan pendengaran mereka, dan
penglihatan mereka ditutup. Dan bagi mereka siksa yang amat
berat”(QS.al-Baqoroh/ 6-7)
0 komentar:
Speak up your mind
Tell us what you're thinking... !