Guru Mursyid /Imam adalah
pemimpin dan teladan bagi masa yang membentuk ummah (masyarakat). Guru disini
adalah orang yang terjaga dari dosa (Mahfudz) yang ditunjuk oleh Nabi Muhammad
saw. sebagai penerusnya atas perintah Allah.
Imamah (kholifah) dan ummat
menurut pendekatan sosiologi adalah dua istilah yang tidak terpisahkan, karena
ketiadaan imamah menjadi sumber munculnya problem-problem ummat, dengan
demikian imam/guru adalah mursyid, insan kamil, dan syahid (saksi) karena tanpa
adanya mursyid maka ummat manusia akan mengalami disorientasi (kehilangan arah)
dan alienasi (keterasingan).
Dalam pandangan ilmu tasawwuf
guru mursyid mempunyai peranan besar dalam membentuk manusia ketingkat
realisasi tertinggi dalam menempuh perjalanan spiritual, karena dimensi
Al-quran telah tertanam dalam dirinya.
Hanya saja persoalan ini jarang dikupas dan diteliti karena guru mursyid
hanya dimengerti oleh hati yang terbuka dan jiwa yang telah disucikan.
Guru Mursyid sebagai Keharusan Rasional
Ia adalah seorang guru yang
mendapatkan Nur Ilahi sehingga ia dapat dikatakan sebagai guru mursyid,
dan kata mursyid tersebut dapat diartikan sebagai nur ilahi.
نَارٌ
نُورٌ عَلَى نُورٍ يَهْدِي اللَّهُ لِنُورِهِ مَنْ يَشَاءُ
Cahaya diatas cahaya. Tuhan akan menuntun
cahaya-Nya. Siapa yang dikehendaki-Nya (Qs. An-Nur; 35)
Jadi hakikatnya mursyid itu
tidak berwujud, akan tetapi setelah masuk kedalam rumah wujud barulah ia
memiliki wujud. Dan mursyid itu tidaklah banyak, yang banyak adalah badan
ragawi yang disinggahi, ibarat pancaran sinar matahari yang masuk ke berbagai
lubang sehingga kelihatannya banyak namun pada hakikatnya hanya satu. Dan untuk
dapat bermanfaat dalam mendekatkan diri dengan Allah maka nur tersebut harus
dimasukkan kedalam jiwa (bukan kedalam akal dan pikiran).
Memasukkan Nur Ilahi kedalam
diri tentu tidaklah mudah, harus ada metodologinya, dan metodologi tersebut ada
dalam tarekatullah yang hak dan harus melalui petunjuk seorang guru yang
mursyid, (setelah itu barulah manusia dapat ber-tajalli dengan Tuhan)
karena guru mursyid adalah kholifah rosul yang mampu mengajarkan segala sesuatu
yang telah diwariskan oleh Rasul [1]
yang secara historis dan dalam konteks ilmiah mewarisi Nur Ilahi secara
langsung dari Rasulullah saw.[2]
Keutamaan Berguru
Salah satu fungsi dan sifat
guru adalah menyebarluaskan bimbingan batin kepada manusia. Ini bukanlah
sekedar bimbingan lahir dalam persoalan-persoalan hukum dan syariat, ini adalah
posisi (maqom) yang agung dan mulia, yang telah dilimpahkan oleh Allah kepada
orang-orang pilihan diantara makhluk-Nya, orang-orang pilihan ini dapat
mempengaruhi pemikiran dan kehidupan batin manusia. Mereka menerangi ummat
dengan pengetahuan batin dan membantu mereka untuk memperhalus jiwa dan
perjalanan batinnya, maka menjadi kewajiban manusia untuk mengikuti dan
menyatukan dirinya dengan mereka melalui bimbingan yang disediakannya, sehingga
mencegah manusia agar tidak terjerumus kedalam lubang keinginan-keinginan intuitif
dan kecenderungan terhadap penyelewengan-penyelewengan batin.
Mursyid adalah orang yang
menduduki posisi tertinggi dalam kehidupan spiritual, dan dipercaya untuk
mengemban tugas pembimbingan spiritual,
ia adalah saluran kasih sayang Allah yang mengalir kepadanya berkat
pancaran suprasensible (diatas jangkauan indera). Al-quran mengkhususkan
kondisi jabatan imam dengan pernyataan;
وَجَعَلْنَا
مِنْهُمْ أَئِمَّةً يَهْدُونَ بِأَمْرِنَا لَمَّا صَبَرُوا وَكَانُوا بِآَيَاتِنَا
يُوقِنُونَ
dan Kami jadikan di antara mereka itu
pemimpin-pemimpin yang memberi petunjuk dengan perintah Kami ketika mereka
sabar. dan adalah mereka meyakini ayat-ayat kami. (As-Sajdah; 24)
وَجَعَلْنَاهُمْ
أَئِمَّةً يَهْدُونَ بِأَمْرِنَا وَأَوْحَيْنَا إِلَيْهِمْ فِعْلَ الْخَيْرَاتِ
وَإِقَامَ الصَّلَاةِ وَإِيتَاءَ الزَّكَاةِ وَكَانُوا لَنَا عَابِدِينَ
Kami telah menjadikan mereka itu
sebagai pemimpin-pemimpin yang memberi petunjuk dengan perintah Kami dan telah
Kami wahyukan kepada, mereka mengerjakan kebajikan, mendirikan sembahyang,
menunaikan zakat, dan hanya kepada kamilah mereka selalu menyembah,(Al Anbiya;
73)
يَوْمَ
نَدْعُوا كُلَّ أُنَاسٍ بِإِمَامِهِمْ فَمَنْ أُوتِيَ كِتَابَهُ بِيَمِينِهِ
فَأُولَئِكَ يَقْرَءُونَ كِتَابَهُمْ وَلَا يُظْلَمُونَ فَتِيلًا
(ingatlah) suatu hari (yang di hari itu) Kami
panggil tiap umat dengan pemimpinnya; dan Barangsiapa yang diberikan kitab
amalannya di tangan kanannya Maka mereka ini akan membaca kitabnya itu, dan
mereka tidak dianiaya sedikitpun. (Al-Isra ; 71)
وَإِذِ
ابْتَلَى إِبْرَاهِيمَ رَبُّهُ بِكَلِمَاتٍ فَأَتَمَّهُنَّ قَالَ إِنِّي جَاعِلُكَ
لِلنَّاسِ إِمَامًا قَالَ وَمِنْ ذُرِّيَّتِي قَالَ لَا يَنَالُ عَهْدِي
الظَّالِمِينَ
dan
(ingatlah), ketika Ibrahim diuji Tuhannya dengan beberapa kalimat (perintah dan
larangan), lalu Ibrahim menunaikannya. Allah berfirman: "Sesungguhnya aku
akan menjadikanmu imam bagi seluruh manusia". Ibrahim berkata: "(Dan
saya mohon juga) dari keturunanku". Allah berfirman: "Janji-Ku (ini)
tidak mengenai orang yang zalim". (Al Baqarah; 124)
Kesimpulannya
ayat-ayat tersebut mengidentifikasikan bahwa imamah/khalifah adalah ikatan
ilahiyah yang hanya diberikan kepada orang-orang yang dikehendaki oleh Allah
yang dalam hal ini keturunan Ibrahim as. Tidak diragukan lagi bahwa hamba Allah
yang paling sempurna diantara keturunan Ibrahim as. adalah Nabi Muhammad saw.,
dan para imam yang ma’sum/mahfudz,
sehingga mereka dianggap sebagai imam yang diberi kepercayaan dengan
tugas bimbingan batin dan pengetahuan Ladunny.
Syekh
Abu Yazid Bustomi memberikan pandangannya tentang kewajiban berguru
قَالَ
أَبُو يَزِيْدِ البُسْطَامِى مَنْ لَمْ يَكُنْ لَهُ شَيْخٌ فَشَيْخُهُ الشَّيْطَانُ
(وَقَالَ) أَبُو سَعِيْدٍ مُحَمَّدٍ الْخَادَمِى مَنْ لَمْ يَكُنْ لَهُ شَيْخٌ فَيَكُوْنُ
مُسَخَّرَةً لِلشَّيْطَانِ (خزينة الأسرار ص 189)
"Abu Yazid
Al Bustomi berkata: barang siapa yang tidak memiliki guru, maka gurunya adalah
syetan. Dan berkata Abu Sa'id Muhammad Al Khodami: barang siapa yang tidak
memiliki guru maka ia akan di tundukkan oleh syetan."
Didalam Al-quran pun diceritakan
bahwa Nabi Musa berguru kepada Nabi Hidir As., hal ini memberikan pelajaran
kepada kita tentang pentingnya berguru dengan patuh dan taat atas apa yang
diperintahkan oleh guru, sabar dan istiqamah dalam mengikutinya.
قَالَ
لَهُ مُوسَى هَلْ أَتَّبِعُكَ عَلَى أَنْ تُعَلِّمَنِ مِمَّا عُلِّمْتَ رُشْدًا
Musa berkata
kepada Khidhr: "Bolehkah aku mengikutimu supaya kamu mengajarkan kepadaku
ilmu yang benar di antara ilmu-ilmu yang telah diajarkan kepadamu?"(Al-Kahfi
66).
[1][1]
Raudhatul Muhadditsin hadis ke 4928
[2]
Khozinatul asror hal. 194 dan Madarijussuud hal. 4
Nara Sumber: K. Zaenal Abidin Kanci dan K. Drs. Hasan Makmum
Penulis: Ustadz Abdul Hakim MunjulEditor: Yusuf Muhajir Ilallah
0 komentar:
Speak up your mind
Tell us what you're thinking... !